Di era 70 hingga 80 an, nama mereka begitu ditakuti, disegani, sekaligus dbenci oleh masyarakat. 3 nama ini telah cukup membuat polisi bekerja keras memburu mereka.
Berikut adalah profil dan secuil kisah mereka, cekibrott
KUSNI KASDUT
Siapa yang tidak mengenal tokoh
ini pada era 70 an, salah satu pejahat Legendaris, tertangkap dan di
vonis hukuman mati atas segala perbuatannya. Namun pada saat – saat
akhir hayat nya ia bertobat dan dengan “tegar” menghadapi hukumannya.
Dalam keterasingannya di penjara
dan jauh dari orang-orang yang dicintai, ternyata sisi agamis Kusni
Kasdut tumbuh semakin dalam. Apalagi ketika dia di penjara dan sebelum
dieksekusi mati, dia sempat berkenalan dengan seorang pemuka agama
Katolik.
Setelah berkenalan dengan pemuka
agama tersebut, akhirnya dia memutuskan menjadi pengikut setia. Kusni
Kasdut dibaptis sebagai pemeluk Katolik dengan nama Ignatius Kusni
Kasdut.
Saat menunggu hari eksekusi, dia
menuangkan rasa cintanya terhadap agama yang telah dia anut dalam
sebuah lukisan yang terbuat dari gedebog pohon pisang. Dalam lukisan
tersebut, tergambar dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara
dan arsitektur bangunannya yang unik. Dan sampai sekarang masih
tersimpan rapi di Museum Gerja Katederal Jakarta.
Lukisan Kusni Kasdut |
“Setelah lukisan gedebog pisang
itu jadi, sebagai tanda terima kasihnya, Kusni Kasdut memberikan
lukisannya itu kepada Gereja Katedral, Jakarta. Beberapa hari setelah
itu, Kusni Kasdut ditembak mati,” ujar pengurus Museum Katedral,
Jakarta, Eduardus Suwito.
Pada masanya Kusni kasdut adalah
penjahat spesialis “barang antik” salah satunya yang paling spektakuler
ia merampok Museum Nasional Jakarta. Dengan menggunakan jeep dan
mengenakan seragam polisi (yang tentunya palsu), dia pada tanggal 31 Mei
1961 masuk ke Museum Nasional yang dikenal juga Gedung Gajah. Setelah
melukai penjaga dia membawa lari 11 permata koleksi museum tersebut.
Pernah membunuh dan merampok
seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an. Kusni Kasdut
dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali. Ali Badjened dirampok sore hari
ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan, Awab Alhajiri. Dia
meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembak dari jeep yang
dibawa oleh Kusni Kasdut.
Saat-saat terakhir Kusni Kasdut
ini dijadikan ide untuk lagunya God Bless “Selamat Pagi Indonesia” di
album “Cermin”. Lirik lagu ini ditulis oleh Theodore KS, wartawan musik
Kompas yg jagoan menulis lirik lagu.
Kusni
Kasdut pada saat sedang menunggu keputusan atas permohonan grasinya
sempat melarikan diri kemudian dapat ditangkap kembali dan akhirnya
menjalankan pidana matinya.
Kusni Kasdut sempat dijuluki
“Robin Hood” Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya sering di bagi
– bagikan kepada kaum miskin.
Tangan kanan Kusni Kasdut adalah
Bir Ali, anak Cikini Kecil (sekarang ini letaknya di belakang Hotel
Sofyan). Bir Ali, yang juga menjadi pembunuh Ali Bajened bersama Kusni
Kasdut di Jalan KH Wahid Hasyim, bernama lengkap Muhammad Ali. Dia
mendapat gelar Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir, ia tewas dalam
tembak menembak dengan polisi.
Ia menjalani hukuman matinya didepan regu tembak pada 16 Februari 1980.
SLAMET GUNDUL
JARANG-jarang
Mabes Polri mengeluarkan perintah paling keras dalam menangkap
bajingan: hidup atau mati. Tahun 1989, Direktur Reserse Mabes Polri
Koesparmono Irsan mengeluarkan perintah kepada segenap jajaran Reserse
Polri di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera Bagian Selatan agar
menangkap seorang buron dengan kata-kata ancaman tadi. ‘Tangkap Slamet
Gundul hidup atau mati.’ Siapa Slamet Gundul? Lelaki berpipi tembam,
hidung lebar, dan tanpa lipatan kelopak mata itu dulu pernah menjadi
musuh polisi nomor satu.
Namanya berubah-ubah. Kadang
Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Tapi julukannya yang top
adalah Slamet Gundul. Dialah tersangka bos kawanan garong nasabah bank
bersenjata api yang belasan kali menggegerkan berbagai kota di seantero
Pulau Jawa. Polisi boleh dibilang sudah mati-matian mengejar buron itu.
Tapi bukan Slamet Gundul namanya, bila tidak licin.
Ia beberapa kali lolos dari
kepungan polisi. Pernah tertangkap dan diadili, tapi ia kabur dari
halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur, begitu vonisnya dibacakan
hakim. Slamet bersama 7 kawanannya pernah dicegat oleh enam jagonya
reserse Polda Ja-Teng, dari Unit Sidik Sakti, di sebuah pompa bensin di
Pandansimping, Klaten, Jawa Tengah, ketika hendak beroperasi. Lewat baku
tembak selama 15 menit, seorang rekan Slamet, Jarot, tewas dengan lima
peluru. Sedangkan dua orang lagi, Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam
keadaan terluka. Slamet sendiri, yang sudah kena tembak di kedua
bahunya, masih bisa kabur dengan sepeda motor. Polda Jawa Tengah tentu
saja gemas akibat lolosnya buron itu. Sebab, dalam setahun beroperasi di
Semarang, komplotan Slamet bisa menjarah duit Rp 159,5 juta. Tahun 1989
komplotan itu merampas Rp 23 juta milik pedagang tembakau asal Kendal,
Rp 40 juta uang juragan ikan, dan Rp 34 juta milik Universitas Islam
Sultan Agung. Nasabah BCA cabang Peterongan kena sikat Rp 28,5 juta dan
karyawan PT Nyonya Meneer kena rampok Rp 34 juta.
Setelah kelompok ‘Kwini’, Slamet
agaknya mencatat rekor perampokan dalam frekuensi kejahatan dan hasil
jarahan tertinggi saat ini. Korban utamanya memang nasabah bank.
‘Biasanya salah seorang dari kami datang dulu ke bank dengan sepeda
motor, pura-pura jadi nasabah,’ kata Subagio dan Sugeng, anggota
kelompok Slamet yang tertangkap di Klaten, hampir serempak. Dengan
penyamaran itu, kata kedua orang tadi, mereka bisa mengetahui nasabah
yang mengambil uang dalam jumlah besar. Kalau sudah dapat sasaran,
komplotan Slamet itu akan menguntit mangsanya dengan sepeda motor.
Dengan kode itu, Slamet, yang biasanya menunggu bersama gangnya di atas
mobil di luar halaman bank, segera tahu mangsa yang dituju. Setelah itu,
barulah kelompok Slamet, yang bermobil, menyusul dan menghadang korban.
Modus ini diduga juga dilakukan
komplotan Slamet ketika merampok di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat.
Ketika itu mobil Chevrolet dengan penumpang dua karyawan CV Bambu
Gading akan menyetor uang Rp 10 juta ke bank. Kendaraan mereka tiba-tiba
dipepet kendaraan perampok, sebuah minibus dan dua buah sepeda motor.
Mobil korban benar-benar tak bisa bergerak setelah minibus itu tiba-tiba
berhenti di tengah jalan. Pada waktu itulah perampok yang bersepeda
motor mengacungkan pistol lewat jendela. Ketika komplotan itu beraksi,
dua polisi, di antaranya Letnan Dua Soewito, mencoba menyergap mereka.
Tembak-menembak terjadi. Dua perampok tewas, empat lainnya kabur. Tapi,
di pihak polisi, Soewito roboh dengan peluru bersarang satu sentimeter
di bawah mata kanannya. Sebelum ‘main’ di Semarang, pada 1987, reserse
Jakarta memang beberapa kali menguber komplotan itu. Waktu itu rekor
Slamet sudah merampok 11 kali nasabah bank. Pada Januari 1987, dua regu
reserse Polda Meto Jaya mengepung rumah sewaan Slamet di bilangan Pondok
Kopi, Jakarta Timur. Tapi, begitu pintu rumah diketuk polisi, yang
keluar cuma istrinya. Slamet sendiri, dengan menggenggam dua pistol Colt
kaliber 32 dan 38 melompati tembok dua meter yang membatasi kamar
mandinya dengan dapur tetangga. Di rumah itu sudah ada dua anggota
polisi yang menunggunya. Tapi polisi kalah cepat. Bagai koboi mabuk, ia
menembak membabi buta. Ajaib, ia menerobos pagar puluhan petugas yang
mengepungnya. Ia kabur setelah menyambar sebuah Metromini yang sedang
dicuci keneknya. Toh pada awal tahun itu juga polisi berhasil menjerat
belut itu. Bersama dua anggota komplotannya, Jarot dan Sahut, ia
dihadapkan ke meja hijau.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Timur mengganjar ketiganya masing-masing hukuman 3 tahun. Tapi, ketika
petugas menggiring ketiga terpidana itu ke mobil tahanan, mereka
mendorong pengawal tersebut dan segera lari. Hanya Sahut yang bisa
diamankan lagi. Tapi Slamet dan Jarot kabur dengan pengendara sepeda
motor, yang anehnya telah menunggu di luar halaman pengadilan. Menurut
Sugeng dan Subagio, bos mereka selama di LP Cipinang justru berhasil
merekrut anggota baru dari sesama rekan tahanan di sana. ‘Slamet itu
orangnya pandai mengambil hati, sehingga banyak yang bersedia ikut
kelompoknya,’ kata mereka. Sugeng dan Subagio, yang masuk Cipinang juga
karena merampok bank, mengaku ikut Slamet setelah berkenalan di Cipinang
tersebut. Subagio, setelah menjalani hukuman selama 2 tahun, baru
dilepas awal 1989. ‘Setelah saya keluar LP, saya lalu menghubunginya,’
ujarnya. Menurut mereka, meskipun Slamet yang menyusun skenario
kejahatan dengan kekerasan itu, toh sebenarnya ia tak kejam. ‘Ia belum
pernah membunuh korban-korbannya,’ kata Sugeng. Yang kejam itu, kata
mereka, justru Jarot, yang mati tertembak di pompa bensin itu.
JOHNY INDO
Dengan tubuhnya jangkung dengan
kulitnya yang bersih. Tutur katanya halus. Mungkin orang akan mengira
dia hanyalah seorang lelaki biasa saja. Seorang ayah yang baik, yang
mengajari PR bagi anak-anaknya, atau suami yang menyayangi istrinya.
Apalagi di masa mudanya di juga tampan. Dan dia indo, lahir di Garut
Garut, 06 November 1948. Tapi siapa sangka dia adalah pimpinan kawanan
perampok yang sangat disegani. Yohanes Hubertus Eijkenboom atau Johnny
Indo.
Johny Indo dan 12 anak buahnya
yang ia beri nama “pachinko” alias pasukan china kota sangat disegani
sebagai perampok yang malang melintang di Jakarta dan sekitarnya. Johnny
Indo adalah spesialis perampok toko emas dan selalu melakukan aksi pada
siang hari. Mereka yang merampok toko emas di Cikini, Jakarta Pusat,
pada 1979. Perampokan ini menjadi berita yang menggemparkan karena
gerombolan membawa lima pistol, satu buah granat, dan puluhan butir
peluru. Johnny mengaku mendapatkan senjata api dari sisa-sisa
pemberontakan RMS, PRRI atau DI TII.
Sesungguhnya Johnny Indo berasal
dari keluarga miskin. Sejak kecil dia suka membaca buku termasuk
petualangan Sunan Kalijaga yang sebelum menjadi wali merupakan perampok,
namun perampok untuk kebaikan semua dengan membagikan hasil rampokan
kepada orang miskin. Atau tentang Si Pitung seorang perampok budiman
dari Jakarta. Robbin Hood yang berkiprah di desa kecil bernama
Nottingham, Inggris.
Berkali-kali pula Johny Indo
mengulangi perbuatannya dan hasil jarahannya dia bagi-bagikan kepada
masyarakat miskin. Namun sepandai-pandai tupai melompat sekali gagal
juga. Pepatah itu nampaknya berlaku juga buat Johny Indo dan
kelompoknya. Karena kekuranghati-hatian salah seorang anggota
kelompoknya yang menjual emas, hasil barang jarahan sembarangan, satu
demi satu anak buah Johny Indo dibekuk petugas. Johny Indo akhirnya
tertangkap di Gua Kiansiantang, Sukabumi, Jawa Barat. Dia diganjar 14
tahun penjara dan dijebloskan ke Nusakambangan.
Ternyata mendekam di
Nusakambangan tidak membuat petualangan Johny Indo berakhir. Bersama 14
tahanan lainnya, Johny Indo membuat geger karena kabur dari sel. Hampir
semua aparat keamanan waktu itu dikerahkan untuk menangkap Johny Indo
dan kelompoknya. Namun setelah bertahan hingga dua belas hari, Johny
Indo pun menyerah. Dia menyerah karena sudah berhari-hari tidak makan.
Selain itu 11 tahanan yang melarikan diri bersamanya tewas diberondong
peluru petugas. Kisah pelarian Johny Indo yang legendaries itu bahkan
sempat diangkat ke layar film dengan Johny Indo sebagai bintangnya
sendiri.
FILM JOHNY INDO |
Johnny Indo yang dalam karirnya
merampok pantang melukai korbannya selama di penjara itu banyak waktu
luang, dari sana mulai berfikir tentang jati diri, akhirnya selama
dipenjara banyak belajar agama Islam karena sebelumnya beragama nasrani.
Kini Johny Indo tinggal di
daerah Sukabumi, Jawa Barat bersama istrinya, Vinny Soraya dan kedua
putra-putrinya. Ia telah berubah. Ia menjalani kehidupan barunya sebagai
seorang juru dakwah. Di saat senggang ia menghabiskan waktu dengan
membenahi rumahnya yang sederhana sambil menunggu panggilan dakwah.
scr
No comments:
Post a Comment